Selasa, 12 Februari 2008

Eksistensi Perempuan Dayak Dalam Politik

Perempuan Dayak selalu dicitrakan dan diidentifikasikan sebagai perempuan yang tinggal di daerah pedalaman, tidak mau sekolah, tidak bisa membaca, menulis dan menghitung(calistung), serta suka menikah diusia muda. Anggapan ini melengkapi penderitaan perempuan Dayak yang masih sering mengalami tindakan diskrimanasi, kekerasan, penindasan, pelecehan seksual, dan bahkan eksploitasi sampai keluar negeri, Gajah..gajah..kasih neleknya!
Hal tersebut menjadi tantangan perspektif "Gender" yang menjadi titik akumulasi sumber permasalahan yang semuanya berwajah perempuan.
Dalam bidang politik, perempuan Dayak masih diposisikan dan dikondisiskan sebagai perempuan "kotak domestik", dimana dunia politik selalu digambarkan dengan karakter maskulin, yaitu:Tegas, keras, kuat, rasional, picik, menakutkan dan kejam.
Di sisi lain, budaya mengkondisikan Perempuan dalam peranannya hanya sebagai seorang istri, ibu, dan pembantu rumah tangga, dengan karakteristik feminim, yaitu: Lemah, lembut, emosional, sabar, setia, penurut, dan mengalah. Pemanfaatan karakteristik feminim itu mengakibatkan perempuan Dayak menjadi kurang diperhitungkan. Dampaknya tidak banyak perempuan Dayak yang berani dan tertarik pada dunia politik khususnya pada posisi pemimpin.
Kalaupun ada, selalu diurutkan paling belakang baik itu ditingkat kabupaten maupun provinsi, apalagi ditingkat pusat. Berdasarkan data Litbang JMPKB, perempuan Dayak di DPRD tingkat I hanya 2,7%, dan DPRD tingkat II hanya 3,7%. sehingga partisipasi aktif sebagai penentu kebijakan dan pengambilan keputusan yang memerlukan ketegasan, dan rasionalitas hampir tidak ada. akibatnya aspirasi dan kebutuhan kaum perempuan selalu dan hampir tidak tersampaikan.
oleh karena itu, peranan perempuan Dayak dalam birokrasi daerah sangatlah penting. Hal ini tidak dimaksudkan untuk "menjatuhkan" atau "menurunkan" atau malah "merebut" kekuasaan dari kaum laki-laki melainkan agar bisa menjadi mitra dimana kedua belah pihak bisa saling menguntungkan.
Menyadari adanya ketimpangan gender tersebut maka perempuan Dayak harus tetap sekolah, mengembangkan diri sehingga mampu menjadi agen perubahan (ya paling tidak bagi dirinya sendiri) ke arah yang lebih baik, dan menjadi panutan bagi perempuan Dayak lainnya.
Maka, perempuan Dayak khususnya di Kalimantan Barat harus maju berjuang untuk melawan penindasan, diskriminasi, dan tidak henti-hentinya memperdayakan diri sendiri untuk memberantas kebodohan. Sehingga perlunya sikap tegas dan komitment terhadap diri sendiri untuk bangkit (stand Up).
Sudah saatnya perempuan Dayak berkecimpung di dunia perpolitikan, serta menjadikan peraturan perundangan sebagai dasar hukum perlindungan supaya eksistensi perempuan Dayak tetap terjaga di masa yang akan datang, hingga akhirnya, kedudukan sederajat antara perempuan Dayak dan laki-laki akan tercapai. untuk itu saya berpesan kepada permpuan Dayak : Don't you ever be afraid and don't surrender cause you can do it key!!..

1 komentar:

lamanday mengatakan...

Lin,

Bang Akim dah minta tulisan ini di Borneo Tribune. Kesempatan bagus, perbaiki dan kirim lah ke dia. Jarang2 ada penulis wanita Dayak...

Sukses ya.